Bisnis.com, JAKARTA — Pada masanya, saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) bak kembang desa yang jadi rebutan. Semua terpikat. Semua ingin memiliki.
Lepas dari krisis moneter 1998, usai BCA menjadi pasien Badan Penyehatan Bank Nasional (BPPN), sahamnya yang berada di kantong pemerintah menjadi rebutan banyak investor.
Dalam perjalanannya, Bisnis Indonesia turut menyoroti bagaimana saham BCA menjadi rebutan dan berakhir sebagai angsa bertelur emas bagi Hartono bersaudara dengan bendera bisnis Grup Djarum.
Pada September 2001, saham BCA terlebih dahulu dibawa ke meja sidang Senayan, dengan sejumlah peminat lokal membisiki DPR agar tak merestui divestasi 51% saham BCA di kantong BPPN.
| Baca Juga :4 Dekade Bisnis Indonesia: Pertarungan-Pertarungan Salim Melawan Tommy Soeharto hingga Prajogo |
|---|
Pada 1998, BBCA diketahui menjadi Bank Take Over (BTO) menyusul rush yang menyertai krisis moneter. BCA kemudian menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp31,99 triliun untuk meredam rush.
Sebagai gantinya BPPN menguasai 92,8% saham BCA. Dalam proses rekapitulasi yang dijalankan, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan obligasi pemerintah. Pada 2000, BPPN melakukan divestasi 22,5% saham BCA melalui initial public offering (IPO) sehingga kepemilikannya berkurang menjadi 70,3%.
Menyusul kemudian penawaran publik kedua alias secondary public offering 10% saham BCA pada 2001, sehingga kepemilikan BPPN atas BCA kembali berkurang menjadi 60,3%.
Paruh kedua 2001, BPPN kembali berencana melepas saham BCA di kantongnya, kali itu direncanakan sebesar 51%. Investor lokal peminat saham BCA dikabarkan melobi keras DPR agar tak memberikan persetujuan melepas 51% saham BBCA karena mereka khawatir kalah berkompetisi dengan investor strategis.
Selang dua bulan, yakni pada Desember 2001, Djarum dan Gudang Garam masuk gelanggang pertarungan. Sumber Bisnis kala itu mengungkapkan bahwa baik Djarum maupun Gudang Garam sama-sama menggandeng perbankan asing dalam rangka menggaet BCA.
Harian Bisnis Indonesia, Rabu 12 Desember 2001. /Dok. Bisnis Indonesia
Sebab, meski memiliki kekuatan finansial untuk menguasai BCA, keduanya dinilai belum memiliki keahlian dalam mengelola perbankan.
“Karena itu, mereka menggandeng bank asing terkemuka termasuk Deutsche Bank. Kabarnya baik Djarum maupun Gudang Garam siap membiayai 80% akuisisi BCA, sedangkan bank asing hanya 205. Tetapi bank asing akan memiliki opsi untuk membeli saham setelah beberapa tahun,” kata seorang sumber, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia edisi 12 Desember 2001.
Grup Djarum kala itu sudah menyatakan minatnya yang besar untuk menjadi pemegang saham BCA. Alasannya, BCA dinilai sebagai perusahaan prospektif untuk investasi.
Deputi Bidang Restrukturisasi Perbankan BPPN kala itu, Soebowo Musa mengatakan saat itu ada 9 calon pembeli BCA, antara lain Malaysian Plantation Group, konsorsium Bank Mega, Dynamic Choice, Farallon Capital Foreign Bank, konsorsium GKBI, Newbridge, Rifan, dan Saratoga.
Penawar lainnya yakni Indonesia Recovery Fund Limited, konsorsium Berca, dan konsorsium pemegang saham Bank Panin. Dari 9 konsorsium investor, belakangan mengerucut menjadi dua konsorsium saja, yakni Standard Chartered dan Farallon Capital.
Meski dijagokan dengan sederet pengalaman menyehatkan bank, Standard Chartered dan Newbridge Capital pada akhirnya harus gigit jari dan menyerah pada konsorsium investor yang digawangi duo Hartono.
Newbridge digadang-gadang telah menyiapkan duit senilai US$724 juta khusus untuk memboyong BCA.
“Newbridge Asia bahkan menyediakan opsi sampai US$1 miliar dalam akuisisi BBCA,” tutur Inghie Kwik, perwakilan Newbridge Indonesia kala itu.
Di sisi yang berseberangan, Standard Chartered saat itu dipersenjatai dengan total 30.000 karyawan di seluruh dunia dan 600 kantor di 56 negara. CEO Standard Cartered Indonesia Plc. saat itu, Ray Ferguson menyatakan kesanggupannya untuk mengakuisisi BCA Tanpa mitra manapun.
Sementara itu, dalam hal pengalaman mengakuisisi bank, Newbridge pernah mencaplok 51% saham Korean First Bank, dengan bekal US$500 juta. Setelah akusisi, bak yang awalnya merugi US$849 juta itu, kemudian mencatatkan laba US$246 juta.
Selain itu, Newbridge juga pernah mengakuisisi sekaligus menyehatkan Bank of America dan American Saving Bank. Di bawah Newbridge, keduanya kemudian menjadi bank dengan laba terbesar di Paman Sam.
Pemegang saham terbesar BCA per 31 Desember 2024. /Laporan tahunan BCA
Pada 15 Maret 2022, Farindo Investment, konsorsium bentukan Farallon Capital resmi keluar sebagai pemenang tender 51% saham BCA dengan harga Rp5,3 triliun.
Ternyata, Grup Djarum menjadi bagian dari Farindo lewat Alaerka Investment Ltd. sebanyak 10%.
Dengan demikian, pemegang saham BCA setelah divestasi tersebut adalah Farindo Investment, perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.
Salim relakan sisa-sisa saham BCA di kantongnya
Pada September 2002, Grup Salim yang merupakan pemilik awal BCA, masih mengantongi sekitar 7% saham. Konglomerasi itu harus menyerahkan sisa-sisa saham BCA di kantong mereka untuk membayar misinterpretasi pembayaran utang senilai Rp729,4 miliar.
Permintaan untuk menyerahkan sisa saham BCA tersebut telah disampaikan BPPN sejak 2001, terutama setelah badan tersebut menyatakan misrepresentasi kewajiban Salim sebesar Rp2,4 triliun.
Meski diwarnai kontroversi, pada Februari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan Anthoni Salim dan keluarganya telah lunas membayar utang pada negara.
Berdasarkan data per 31 Desember 2024, Anthoni Salim masih menggenggam 855.239.635 (855,23 juta) lembar saham BCA atau setara 0,69%. Konglomerat itu tercatat sebagai pemegang saham BBCA nomor 6 terbesar.
Kiprah Grup Salim di bisnis perbankan kemudian berlanjut melalui Bank Ina. PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA). Pada Januari 2017, Salim mulai masuk membeli sekitar 29,02% saham Bank Ina melalui NS Financial Fund dan NS Asean Financial Fund.
Pada tahun yang sama, melalui rights issue, Grup Salim meningkatkan kepemilikannya di Bank Ina menjadi 48,96%. Akhirnya, pada Januari 2020, Anthoni Salim secara resmi menjadi pemegang saham pengendali Bank Ina, bersama Pieter Tanuri.
Teranyar, Salim melalui PT Indolife Pensiontama mengantongi 22,83% saham Bank Ina dan tetap menjadi pemegang saham pengendali.

Tinggalkan komentar